Saturday, May 14, 2011

Sudah Seharusnya Pembalap Indonesia ke MotoGP

507
“Itu balapannya Grand Prix kan?” tanya Farhan, presenter “Tatap Muka” di TVOne, semalam. Farhan tampak kagum pada kisah Tinton Soeprapto, mantan pembalap nasional dan pengelola sirkuit Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Tinton berkisah singkat tentang foto Saksono Sosro Atmojo, pembalap motor Indonesia era ’60-70-an. Aura bicara Tinton membanggakan Saksono, pembalap Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di ajang Grand Prix (GP) 500 (kini namanya menjadi Moto GP)..

Di antara prestasi Saksono, antara lain posisi kedua di GP Zandvoort, Belanda (tahunnya ada yang tahu?). Ajangnya juga GP 500?. Sayang, penuturan Tinton hanya sebentar, maklum inilah kelemahan informasi via televisi, sedikit dan mudah dilupakan.

“Di bawah sirkuit itu ada rel kereta api, dia terjatuh di sana dan pinggangnya menghantam rel”, kisah singkat Tinton tentang kematian Saksono. Ya pembalap yang dibanggakan Tinton itu meninggal di sirkuit Zilge, Cekoslowakia, 12 Agustus 1972 saat latihan (praqualifying race).
Suzuki 500
suzuki-t500-11

Saya tertarik dengan kisah ini, sayang bahan kisahnya sangat sedikit di dunia maya. Ingin mampir ke museum otomotif di Sirkuit Sentul, belum sempat. Di sana, Tinton memamerkan foto Saksono di atas Suzuki 500 yang ditungganginya.

Oya ini menarik, dari jaman baheula, pembalap Indonesia ternyata suka memakai sepeda motor jenis Suzuki untuk balapan. Sayannya, saya juga belum bisa memastikan Suzuki 500 yang mana dan buatan tahun berapa ini.
Setelah browsing sana sini, nemu juga artikel tentang Saksono dari majalah Tempo edisi 2 September 1972. Terima kasih untuk majalah Tempo yang masih menyimpan arsip beritanya dari masa ke masa.
Monggo dibaca-baca ya:
Pelajaran Dari Saksono
Pembalap Indonesia, Saksono Sosro Atmojo, meninggal karena kecelakaan di sirkuit Zilge-Eropa. menurut pembalap Selandia baru, sirkuit itu memang berbahaya. ini merupakan soal yang harus dikaji “Imi”.

“UNTUK kenang-kenangan”, ujar Saksono Sosro Atmodjo pada ibunya, sambil memperagakan potret sahabatnya, Henky Iriawan almarhum yang lagi bertelanjang dada, yang diminta Saksono pada Nyonya Peggy Iriawan awal bulan lalu menjelang keberangkatannya ke Eropa mencari pengalaman. Kini tinggal ucapan itulah yang menjadi kenangan sang ibu. Sebab puteranya sekarang–lahir 3 Desember 1946–telah menyusul Henky dialam baka, akibat kecelakaan di sirkuit Zilge 12 Agustus 1972 yang lalu dalam suatu latihan menjelang perlombaan balapmotor.
jada6
Anwari. Meski sebelum keberangkatannya, Saksono tidak menunjukkan tingkah laku yang ganjil sebagaimana lazimnya orang yang hendak berpulang, namun dari Amsterdam ia mengirim sepucuk surat kepada orang tuanya yang mengabarkan rencananya ke Cekoslowakia. “Suatu hal yang tidak pernah dilakukannya selama ini”, kata abangnya Anwari SA –juga pembalap kenamaan disekitar awal tahun 60-an.
Tapi berbeda dengan kepergian Henky, adalah disamping tumpukan kesedihan yang tinggal, terkait pula berbagai pertanyaan: Bagaimana peristiwa kecelakaan itu terjadi’? Siapa saksinya? Dan apa sesungguhnya penyebab kecelakaan?
Sebegitu jauh diketahui bahwa kepergian Saksono ke Eropah hanya ditemani dua orang pembalap mobil, masing-masing Hanny Wiyono (Chepot) dan Robert Silitonga (Obet). Karena dua yang disebut belakangan ini tujuannya untuk belajar balap di Inggeris. Maka mereka pun memisahkan diri. Saksono masih sempat berlomba di Zandvoort, Belanda – dan beroleh kemenangan kedua – sebelum ia menuju Ccko. Konon selama di Eropa, Saksono didampingi oleh seorang mekanik Pertamina, Harry Akban (?). Informasi lainnya yang boleh dijadikan pegangan, bersumber dari Mochtar Latif dan diperkuat oleh Sarsito SA, adik almarhum. Kata mereka bahwa Suzuki 500 yang dipergunakan Saksono adalah yang pernah dipakai Abauw dalam Indonesia GP. ke-XII awal Juli yang lalu — dan yang hampir saja merenggut nyawa Abauw ketika dalam latihan ia terjatuh, sehingga tidak dapat ambil bagian dalam perlombaan selanjutnya akibat cidera.
72tt
Lincah. Adakah Saksono tidak terbiasa dengan motor besar? Bukan ini persoalannya, karena ia terhitung pembalap yang cukup lincah menggunakan motor besar, bahkan biasa dengan jenis seperti Norton Commando (750 cc). Sementara itu bukan Saksono tidak mengetahui bahwa Suzuki-500 yang orisinil–tanpa mengalami terlebih dulu pembedahan seperti yang dipergunakan Geoff Perry (TEMPO, 22 Juli 1972) – mengandung kelemahan pada kerangkanya: sering ngepot jika dikebut penuh, meski pada jalan lurus. “Itu sebabnya Sonny Soh tidak kelihatan apa-apanya dalam GP yang lalu”, tukas Abauw yang juga datang menjemput jenazah Saksono di Kemayoran, sambil menambahkan “bahwa menurunnya prestasi Sonny adalah disebabkan Suzuki-500-nya belum dipermak kerangka dan swingarm roda belakangnya”. Abauw pun menyarankan untuk memesan kerangka yang cocok dari ayah Perry di Selandia Baru seandainya ada pembalap yang ingin memakai Suzuki-500. Tapi agaknya Saksono tidak sabar untuk berkornpromi dengan maut setelah ia mendjadi runner-up di Zandvoort – atau memang sudah takdir. Sebab rencananya, setelah balap di Ceko segera akan menukar kerangka Suzuki-nya dengan kerangka buatan pabrik Inggeris merek Seeley, yang konon telah dibeli rekannya Obet. Dengan demikian Saksono berharap dalam balap di Ancol nanti dapat melakukan come-back.
IMI. Memang jika dikaji lebih lanjut, rasa penasaran makin mencekam. Seperti kata Mochtar Latif kepada TEMPO: “Kalau saja saya tahu Tjoni (Saksono) akan balap di Zilge tentu akan saya peringatkan supaya berhati-hati”. Mochtar pun menceritakan kembali tuturan pengalaman Ginger Mulloy dari Selandia Baru – Juara III GP yang baru lalu bahwa salah satu sirkuit yang paling berbahaya justru termasuk Zilge. Karena ia merupakan sirkuit jalan raya. Mengutip Mulloy, Mochtar mengatakan: “Jangan coba-coba melakukan improvisasi disana kecuali anda seorang pembalap profesional”
Kini masalah yang ditinggalkan Sakono bukan lagi kesedihan semata. Adakah IMI (Ikatan Motor Indonesia) akan turun tangan dengan membentuk sebuah Bourd of Inquiry (Dewan Penyelidik) mengenai kecelakaan Saksono? Sebah dengan berbuat demikian, paling tidak IMI telah berusaha untuk menarik pelajaran dari kematian seorang anggotanya. Atau dengan pengalaman yang mahal ini, adakah IMI sadar akan pentingnya pengetahuan sirkuit yang kemungkinan besar akan menjadi tuan rumah dari pembalap-pembalap kita. Supaya kepada mereka dapat dibekali informasi dari sirkuit yang serba asing. Seperti halnya dengan pembalap luar negeri yang ikut balap di Ancol, mereka tidak segan-segan menegur Panitia terhadap sesuatu yang dianggap berbahaya bagi nyawa mereka. Misalnya mereka menuntut sedapat mungkin landasan dibebaskan dari pasir – satu hal yang sesungguhnya tidak bosan-bosannya dilakukan Panitia, tapi apa daya jika pasir ikut tertabur oleh tiupan angin pantai. Atau misalnya mereka menuntut agar ada tikungan-tikungan tertentu diberi tanggul pengaman, untuk mencegah kalau-kalau mereka tergelincir di sana. Pengetahuan tentang sirkuit semacam ini paling tidak sama pentingnya – terutama bagi yang masih amatir–seperti pengetahuan mereka terhadap kondisi motornya.
Meskipun balap motor sering diumpamakan sebagai bercumbu dengan maut, tapi apalah salahnya jika itu dilakukan dengan sadar, bahwa arena balap bukan tempat mengadu nasib dengan pertaruhan jiwa. Dengan demikian kepergian almarhum boleh mendatangkan pelajaran yang berguna bagi hari depan dunia balap Indonesia, disamping beban kepiluan yang diderita kita semua.
 

No comments:

Post a Comment